Halaman

Selasa, 29 November 2011

Harmonika

Ini adalah postingan di blog saya sebelumnya, juga posting lewat note di facebook. Postingan adalah salah satu postingan favorit saya. maka dari itu saya ingin berbagi kembali di blog ini. selamat membaca :)
--------------------------------------------------------------------------------------
Bis antar kota. Dia duduk di barisan ke empat dari kursi paling belakang. Lurus dengan kursi pak sopir yang sedang khusuk mengawasi jalanan. Wajahnya tenang. Menikmati tepi jalanan mungkin. Hijau penuh pohon-pohon berbaris dan tanaman padi yang berumur sebulanan kira-kira. Tak ada suara. Tak ada percakapan dari pria itu. Memang tidak ada penumpang disebelahnya. Bis ini masih sepi. Banyak bangku yang kosong. Dan dia lebih memilih menikmati tepi jalanan saja. Daripada harus mencari-cari teman ngobrol yang sama sekali tidak ia kenal.
Tak lama berselang, seorang pengamen naik dengan berani ke atas bis yang masih berjalan. Pemandangan yang biasa sebenarnya. Keakraban dengan jalanan telah mengajarkan mereka untuk sedikit memiliki rasa takut dan gengsi. Buktikan saja. Orang yang kini berdiri di sela-sela bangku bis itu hanya bermodal harmonika kecil lusuh entah buatan tahun berapa. Tapi niatnya sama sekali tak berkurang. Niat untuk menghibur penumpang dan mengantongi beberapa keping uang receh. Jika dia beruntung hari ini, mungkin akan ada bonus beberapa lembar uang ribuan dari penumpang.

Pria itu tetap tak bergeming. Sibuk melihati rumput-rumput gajah yang tak bisa lama ia pandangi. Hanya sekilas dan akan terlewat. Acuh saja dengan pengamen itu. Toh dia juga tidak merasa terganggu. Mungkin dia akan menoleh nanti kalau pengamen itu sudah selesai memainkan pertunjukannya. Kemudian merogoh kantong jaketnya tempat ia menyimpan uang receh yang sejak berangkat tadi telah disiapkan. Di saat mudik seperti ini, dia selalu menyiapkan uang receh ketika akan pulang. Sadar benar bahwa akan banyak pengamen di sepanjang perjalanan.

Si pengamen juga tak kalah acuh. Dia sudah tahu tak akan ada penumpang yang diam lalu mendengarkan dia memainkan harmonica tercintanya. Baginya, melihat wajah-wajah itu hanya sementara. Demi mendapat bagian dari rejeki mereka yang katanya Tuhan titipkan untuk diambil dan menjadi hak orang tidak mampu. Meski begitu, dia menolak untuk bermain sembarangan. Begini-begini juga aku masih punya idealisme. Kata dia dalam hati. Idealisme yang membuatnya masih bertahan dengan harmonikanya. Idealisme tak laku. Kadang dia mengejek dirinya sendiri dengan kalimat itu.



Satu tiupan!

Dua tiupan!
Tiga tiupan!
Lalu Diikuti dengan tangan-tangan lincah yang sebentar terbuka dan menutup lagi. Seperti katub. Penyempurna irama. Membawa emosi. Sambil terus meniup sesuai nada lagunya. My heart will go on. Celine Dion.



Di sudut yang lain. Sang pria penikmat tepi jalan mulai terusik. Bukan pertama kali ia melihat pengamen berharmonika. Dan sebelumnya tak ada diantara pengamen itu yang membuatnya ingin benar-benar mendengarkan. Kecuali yang satu ini. Yang sekarang berdiri beberapa kaki didepannya.

Suara itu terdengar begitu akrab. Harmonika yang ditiup lembut. Hangat. Sentimentil. Suasana yang menenangkan. Membawa si pria mengingat masa lalu. Pandangannya memang tak beralih. Namun itu bukan pertanda keacuhan. Tapi dia sedang meresapi sesuatu. Sesuatu tentang masa kecilnya. Saat dia bermain di balik pohon pisang dengan ketapel. Perang-perangan memakai peluru dari pohon ubi jalar. Permainan anak-anak kampung. Namun jauh lebih menyenangkan dari pada bermain playstation.



Harmonica sudah menyelesaikan lagu pertamanya. Tiupan berlanjut. Setelah sedikit basa-basi dari si pengamen. Berita kepada kawan. Ebiet G. Ade.



Lagu Ebiet G. Ade memang selalu membuat pria itu terenyuh. Dan hey lihat, siapa yang ia temukan dalam ingatan masa lalunya. Yulia. Teman SMP yang membuatnya merasa malu setengah mati. Masih ingat kejadian itu. Pura-pura meminjam buku lalu menyelipkan surat cinta didalamnya. Bodohnya si surat cinta jatuh di tengah kelas. Aarrrggghhh… dibaca nyaring didepan kelas. Yang membuatnya lari ke kamar mandi karena tak kuat menahan malu..

Lalu Anto. Bayangannya terlintas lagi. Seorang teman masa kecil. Masih ingatkah dia dengan ritual mencari jangkrik di tengah malam? Atau berjemur dibawah terang bulan dengan bekal nasi telur dan sambel keasinan. Sambil mendengarkan radio di atas bukit berembun. Dan berbicara banyak hal. Mulai dari kisah cinta monyet yang dialami masing-masing, sampai berenang di sungai yang airnya keruh sehabis banjir. Indah masa-masa itu.
Dan lihatlah dia sekarang. Seorang pengusaha sukses dengan 3 perusahaan yang didirikan sendiri. Masa-masa kecil memang tak akan kembali. Tapi dia tak merasa kehilangan. Karena keindahan hidup tak pernah pergi. Jika keindahan itu pergi, maka buatlah yang baru. Prinsip bagi si pria!
Kembali ke desa. Bukan tanpa tujuan. Rencananya sudah matang. Mengajak beberapa teman untuk bergabung dengan perusahaannya sebagai karyawan. Menunaikan cita-citanya. Menciptakan lapangan pekerjaan dan membantu sesama. Indahnya membantu… hHhmmmm… pria itu tertawa kecil.. ternyata benar, keindahan memang tak pergi!

Bunyi harmonika sudah berhenti. Tugas si pengamen sudah selesai. Sekarang saatnya mengeluarkan kantong plastik bekas bungkus permen untuk tempat upah pertunjukan. Berjalan sambil menyodorkan kantong itu ke penumpang. Dari depan. Satu persatu. Hingga tiba di hadapan pria itu. Si pria penikmat jalan. Dia terlihat merogoh dompet disaku celananya. Bukan disaku jaket yang dari sejak berangkat telah disiapkan uang receh. Rupanya si pengamen memang beruntung hari ini. Bukan lembaran seribuan pula yang ia dapat. Malah lima ribuan..



“maennya bagus!” kata si pria sambil memasukkan uang itu ke kantong plastik,

“Hmmm..ma kasih” pengamen menjawab singkat.



Bonusnya ternyata juga berlipat. Baru kali ini ada yang mau mendengarkan dengan baik permainan harmonikanya. Ditambah selembar lima ribuan. Hari yang penuh kejutan. Pengamen itu turun kembali dari bis yang masih berjalan. Kali ini dengan senyuman…

Bis itu begerak lebih kencang. Membawa si pria melanjutkan perjalanannya. Mudah-mudahan akan ada lagi pengamen seperti tadi. Yang membuat waktu terasa berlalu lebih cepat bagi si pria. Dan untuk sementara, pria itu kembali memandangi tepi jalanan. Menikmati hijau pohon-pohon berbaris dan tanaman padi berusia sebulanan…



P.S.:

Setiap orang punya kenangan masa lalu. Setiap orang juga memiliki hal unik yang bisa membuatnya kembali mengingat itu. Seperti si pria tadi. Harmonika membantunya membalik waktu. Anda juga pasti punya. Saya pun demikian. Mungkin cahaya lilin di tempat gelap, mungkin juga obor, atau musik classic, bahkan mungkin juga layang-layang. Entahlah. Anda yang tahu itu.
Yang penting, jangan menyesali hidup karena anda sudah tumbuh dewasa. Dan tidak dapat kembali ke masa kecil yang begitu menyenangkan. Karena justru dengan anda tumbuh dewasa, anda lebih menghargai permainan masa kecil anda daripada pada saat anda memainkannya…

Tidak ada komentar: